Semeru Ocean - Petani kopi di Indonesia saat ini tengah menghadapi sejumlah tantangan. Bersama pengurus koperasi Klasik Beans, Imas Suryati, tantangan itu pun dikupas tuntas, lengkap dengan solusi nyata.
Imas Suryati si pakar kopi di hulu ini kemudian berbagi cerita tentang bagaimana geliat petani yang kini makin bergairah di tengah serapan besar pasar luar negeri akan industri kopi.
Imas Suryati juga sempat menyinggung bagaimana tahapan sertifikasi organik hingga fair trade diperlukan para pelakon kopi Tanah Air untuk bisa menembus pasar internasional. Seperti apa? Semeru Ocean baru-baru ini berkesempatan berbicara panjang dengan Q Arabica Grader ini di event Bekasi Cofee Week 2022. Berikut wawancara lengkapnya.
Sejauh mana perkembangan industri kopi Tanah Air saat ini?
Sangat baik, tetapi memang ada sejumlah tantangan. Dari sisi petani, saat ini cukup baik. Tiap tahun petani kopi menjadi semakin banyak. Kopi yang juga terus hype di masyarakat juga bikin banyak petani jadi tertarik untuk ikut menanamnya.
Di Klasik Beans saja, kami punya total petani dengan pendampingan sekira 2.500 orang. Dan anggota kami saja terus bertambah tiap tahun.
Daya serap kopi Indonesia di pasar lokal dan luar negeri juga besar, maka itu para petani kemudian jadi ditantang untuk menghasilkan kopi berkualitas agar mereka juga bisa sejahtera.
Indonesia saat ini jadi produsen kopi terbesar keempat di dunia, bisakah produksi digenjot lebih banyak lagi?
Menurut saya kita tak perlu menggenjot lebih banyak produksi, karena lahan kita memang segini adanya. Kalaupun genjot produksi, kami khawatir banyak orang kemudian membuka lahan atau deforestasi demi minum kopi.
Dan itu jadi salah satu kekhawatiran kami sekarang. Menurut kami, Indonesia dan para petaninya sebaiknya lebih baik fokus untuk menjaga kualitas kebun kopinya. Karena itu kan juga bisa meningkatkan produktivitas lahan, dengan cara perawatan yang baik. Dengan begitu daya saing kita di kancah dunia juga semakin baik.
Sejauh mana petani kopi Indonesia paham akan kualitas?
Kami dari koperasi sebenarnya sangat percaya bahwa kopi yang bagus memang datang dari kebun yang bagus. Nah, siapa yang berperan di kebun? Ya sudah tentu petani. Pada awalnya kebanyakan petani memang enggak proses, tetapi mereka lebih pada budidaya dengan cara konvensional.
Konvensional di sini mereka hanya menanam. Awalnya secara edukasi, baik itu penanaman, budidaya, bahkan perawatan, mereka memang belum banyak yang tahu. Karena pada awalnya mereka menanam kopi hanya karena program pemerintah (transisi 1990-2000-an). Bukan didasarkan karena ingin betul-betul menanam kopi.
Nah, dahulu, walau itu program dari pemerintah untuk naikkan produksi kopi, tetapi tidak dibarengi dengan edukasi yang baik. Jadi pada awalnya mereka hanya menanam, belum banyak yang tahu bagaimana merawat kopi. Sampai akhirnya mulailah Sumatera yang lebih awal menanam atau budidaya, kemudian menjalar ke berbagai wilayah seperti di Jawa dan lainnya.
Saat peluang ekspor terbuka, para petani kemudian mulai sadar akan kualitas untuk mendapatkan harga yang jauh lebih baik dan mulai banyak petani yang menanam kopi. Karena memang pasar sebenarnya cukup terbuka lebar.
Sampai akhirnya kami juga ikut datang sebagai koperasi pada 2009, yang diawali oleh Pak Eko Purnomowidi (pendiri Klasik Beans). Karena besarnya permintaan akan kualitas, maka kemudian kita sebagai koperasi memperkuat kualitas dari semua lini. Mulai dari kebun, paska panen, proses, sampai produk itu menjadi green bean.
Caranya kita bikin standar kualitas termasuk ke petani. Kita bikin edukasi ke petani soal bagaimana membentuk kebun ideal, cara budidayanya, pemetikan yang baik, sampai ke seluruh perawatan. Jadi edukasinya mulai mereka sebelum panen, sampai paska panen.
Dan syukurnya sekarang sudah banyak petani yang paham akan kualitas termasuk juga tahapan-tahapan untuk mengatasi berbagai masalahnya, utamanya para petani di koperasi kami.
Apa sih jenis kopi yang diekspor?
Kalau di Indonesia sendiri kita ada dua komoditi atau dua jenis yang diekspor, yakni robusta dan arabika. Kontribusinya, robusta menyumbang sekira 80 persen, baru sisanya arabika.
Perbandingan kenapa robusta itu menyumbang hingga 80 persen, mungkin secara teritori kopi jenis ini bisa ditanam di mana saja. Berbeda dengan arabika yang harus ditanam di ketinggian minimal 1000 mdpl.
Selain itu, mengapa robusta lebih banyak diserap pasar dalam dan luar negeri, karena sejak lama kita kirim ke luar untuk espresso. Di mana karakter kopinya tidak terlalu asam, sehingga masih enak jika dicampur dengan susu.
Belakangan ada isu soal sertifikasi, sejauh mana akan jadi momok menakutkan para petani, apakah itu bentuk pendeskreditan pihak asing akan kopi Indonesia?
Sebenarnya kalau masalah sertifikasi itu memang datang dari luar negeri. Karena buyer-buyer dari luar mensyaratkan agar para supliernya punya sertifikat. Baik itu sertifikat organik --kopi ditanam tanpa herbisida, pestisida, atau pupuk kimia sintesis-- dan lainnya, tetapi memang kebanyakan minimal sertifikat organik lah.
Kemarin saya baru ada yang bertanya juga, sebenarnya sertifikat kopi organik itu seperti apa, dan pengaruhnya terhadap harga itu seperti apa? Jawaban saya, sebenarnya sertifikat itu sebenarnya jangan dianggap sebagai momok. Tetapi yang harus dipahami adalah sertifikat itu memang penting sebagai satu tanda kenyamanan dan keamanan bagi konsumen.
Jadi mereka tahu kalau produk yang mereka konsumsi itu aman. Bukan mendeskreditkan produk Indonesia. Tidak. Karena di semua hal dan negara itu berlaku.
Lalu, ada lagi fair trade yakni salah satu sertifikasi Internasional --dapat mempertemukan para produsen dan pembeli secara langsung melalui acara rutin pengenalan produk Fair Trade antar negara. Serta sertifikat-sertifikat lainnya. Semua itu berpengaruh.
Bagi kami itu sebenarnya biasa-biasa saja. Sebab jika produk kita mengantongi label fair trade, organik, otomatis banyak orang yang menjadi lebih tertarik masuk, karena rasa kepercayaannya akan produk itu menjadi lebih tinggi.
Apakah petani-petani kita sudah siap dengan sertifikasi itu?
Kalau sertifikasi itu sebenarnya urusan eksportir atau produser-produsernya. Kalau petani, mereka hanya diaudit kebun dan lingkungan rumahnya. Serta gaya hidupnya petani juga, secara lingkungan, kebun juga seperti apa. Dan itu kami yang mengeceknya.
Sebenarnya memang enggak murah untuk sertifikasi itu, karena harganya, per sekian petani berapa. Makanya dari sekian banyak kita pilih beberapa kebun yang paling ideal untuk organik dan kita yakinkan dengan anggota-anggota kita.
Saat mengajukan sertifikasi itu sebenarnya kita dikasih waktu beberapa waktu. Cuma kebanyakan standar-standar itu sudah kita lakukan sebelum kita ajukan.
Kalau sertifikasi organik sih gampang sebenarnya, karena kalau kita lihat dengan seksama kediaman atau kebun para petani kopi itu kan jauh dari mana-mana. Dan boleh dibilang petani Indonesia itu organic by default begitu. Jadi memang dari dulunya sudah organik.
Makanya kami minta agar para petani kopi tetap menjaga lingkungan dan lestarikan lingkungan. Jaga semua yang ada di situ, ya hewan, tanaman, air, jangan diracuni. Karena dengan begitu kita akan dapat udara yang bagus juga. Dan terpenting jangan lakukan deforestasi.
Sejauh mana sertifikasi berlaku untuk pasar lokal?
Nah ini, tidak semua orang bisa mengapresiasi itu. Dalam arti ada saja yang menggumam apa sih bedanya? Kenapa sih mesti sertifikasi, padahal sama-sama saja. Padahal enggak murah untuk mendapatkan sertifikasi organik itu lho.
Konsisten soal kualitas kopi ikut jadi tantangan?
Iya sih, memang ini jadi salah satu tantangan petani kopi, apalagi ini produk alam ya, mungkin bisa naik-turun juga. Seperti cuaca kan juga berpengaruh. Termasuk ada siklus empat atau lima tahunan yang tak mungkin bisa dihindari.Tetapi ya bagaimana akhirnya dengan program-program edukasi itu kemudian kita dampingi, jadi memang tak dilepas, karena di dalamnya ada program-program edukasi yang mesti kita sampaikan.
Semisal, kalau waktunya petik, kita sampaikan edukasi bagaimana cara memetik kopi yang bagus. Dan lain sebagainya. Intinya jangan sampai dilepas saja sih.
Peran pemerintah saat ini seperti apa ke petani kopi?
Kalau lihat dari peran pemerintah, sebenarnya di semua bidang kayak kementerian begitu, enggak cuma satu kementerian, tetapi bahkan dari semua kementerian seperti pengin terjun langsung (genjot) ekspor. Karena mereka tahu seberapa banyak sih yang kita punya, seberapa bagus kopi yang kita punya.
Kalau dari saya pribadi sih, sebaiknya kalau mau meghasilkan sesuatu yang bagus, coba diurus lebih baik. Termasuk juga permodalan, karena kebanyakan semua jadi serba tidak tepat sasaran. Mereka mengucurkan dana banyak, tetapi sasarannya tepat atau enggak?
Kalau akses KUR sebenarnya mudah enggak?
Kalau ditanya petani, kadang ngurus-ngurus administrasi KTP saja agak susah, apalagi untuk dapat yang seperti itu, urus ini dan itu.
Jadi, permodalan juga jadi isu di petani kopi?
Iya. Tetapi kalau menurut saya, solusi permodalan ada baiknya akan lebih aman jika petani berada dalam satu komunitas, akan lebih ringan. Dan banyak petani saat ini sudah melek komunitas.
Seperti juga di kami. Kami tak punya kebun, semua milik petani, lahan rakyat, tetapi karena mereka bagian dari anggota komunitas di koperasi, kemudian ada hal-hal yang kami berikan ke mereka, yaitu tadi soal edukasi, termasuk sertifikasi.
Share